SELAMAT DATANG DI BLOG CRIS SITINJAK

Minggu, 06 Desember 2009

Kasus Cicak dan Buaya..

Hari-hari ini media banyak bercerita tentang sosok Anggodo Widjojo. Dia seorang pengusaha asal Surabaya yang dituding merupakan sutradara dibalik kasus cicak vs buaya alias kasus KPK vs Polri. Dalam rekaman yang dibeberkan oleh KPK kepada publik selama 4,5 jam pada tanggal 3 November 2009 dapat dilihat bahwa Anggodo Widjojo begitu licin dalam menjalankan aksinya bak mafia kelas kakap.

Dia dapat secara baik berkoordinasi dengan banyak pihak termasuk institusi negara seperti Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Secara cerdas pula dia dapat mengatur uang untuk melincinkan aksinya sampai menghabiskan dana bermilyar-milyar. Konon kabarnya dia melakukan hal itu untuk melindungi kakaknya (yang sekarang keberadaannya entah dimana) dari ancaman jeratan kasus korupsi. Hal yang lebih mencengangkan dari sosok seorang Anggodo Widjojo adalah ketika dalam rekaman secara berani berkata akan membunuh Chandra M Hamzah ketika sudah dimasukan dalam penjara. Apalagi dalam aksinya RI 1 atau presiden SBY ikut dilibatkan dalam kasus ini (kebenarannya masih dipertanyakan). Wow.. Anggodo Widjojo begitu terorganisir dan licik dalam menjalankan aksinya. Tindakannya sama terorganisir seperti kegiatan teroris yang butuh bertahun-tahun untuk bisa terkuak.

Sayang, aksinya terhenti oleh hadangan KPK melalui pembeberan sadapan teleponnya yang jelas-jelas melakukan tindakan pidana terhadap pemimpin non aktif KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah) untuk melindungi kakaknya (Anggoro). Akhirnya, mafia tersebut tertangkap walau sampai 1×24 jam belum dinyatakan ditahan.

Akibatnya dari tindakan Anggodo tersebut antara lain adalah Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditangguhkan penahanannya, Susno Duaji (Kabareskim Mabes Polri) dan Abdul Hakim Ritonga (Wakil Jaksa Agung) menyatakan pengunduran diri pada tanggal 5 November 2009 karena mereka merasa mencoreng nama baik institusi. Presiden pun segera mencari bukti dari Tim Pencari Fakta (TPF) karena namanya sempat disebut-sebut dalam laporan penyadapan (nampaknya Presiden juga ikut kebakaran jenggot atas kasus ini).

Terus “Apa yang membuat Anggodo begitu licin dalam menjalankan aksinya yang bak mafia kelas kakap itu?” Sebelumnya, saya akan jelaskan dahulu bahwa mafia bukan merupakan pilihan hidup yang baik. Penuh resiko menurut saya. Tidak cuma kamu yang akan menjadi ancaman tetapi juga keluarga mu. Ini dapat tersirat dari pernyataan Anggodo yang meminta jaminan untuk keselamatan keluarganya. Belum lagi kakaknya (Anggoro) yang mungkin sekarang merasa tidak aman dan terus terancam karena menjadi pencarian semua pihak atas kasus korupsinya. Siapa yang nyaman dengan keadaan seperti itu? Pasti kebanyakan orang menjawab sangat tidak nyaman.

Kembali lagi pada pertanyaan sebelumnya yakni “Apa yang membuat Anggodo begitu licin dalam menjalankan aksinya yang bak seperti mafia kelas kakap itu?” Pertama, menurut analisis saya adalah modal dia punya besar. Sehingga banyak orang tertarik dengan “objekan-objekan” dari dia yang menggiurkan. Bayangkan saja dengan hanya memuluskan jalannya saja kamu bisa dapat uang 5 milyar atau mobil mercy jenis terbaru. Kedua, dia banyak kenal dekat dengan para pejabat penting pembuat keputusan. Lahan basah dari kedudukan para pejabat itu yang diincar oleh Anggodo. Apalagi jika pejabat tersebut juga licin alias mau diajak kong-kali kong demi keuntungan pribadi. Jadi dari kedua analisis saya ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat seperti Anggodo. Dia punya modal materi yang begitu besar dan kenal dengan banyak pejabat yang meduduki posisi strategis. Dia juga orang yang cerdas dan licin dalam menjalankan aksinya yang notabene dia juga adalah pengusaha sukses asal Surabaya yang pastinya sudah makan asam garamnya kehidupan.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut atau sejenis masalah yang sama adalah penahanan diri untuk tidak serakah. Kembali lagi, tidak hanya dalam masalah cicak vs buaya saja, mungkin masih ada banyak masalah lain diluar sana yang hampir sama seperti dapat digambarkan dengan gunung es. Serakah memang dari jaman dulu memang tidak membawa keberuntungan. Sudah banyak buktinya, dari cerita legenda sampai sejarah pemerintahan di negara manapun. Maka dari itu, lakukan pekerjaan sesuai dengan amanat dan peraturan yang berlaku. Jangan serakah untuk menginginkan hal yang lebih dari itu atau bahkan untuk keuntungan pribadi.

Terakhir, saya harapkan semoga permasalahan ini cepat selesai. Anggodo dan Anggoro dapat diproses sesuai hukum yang berlaku. Untuk Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah segera diberikan status hukum yang jelas. Begitu pula Kepolisian dan Kejaksaan Agung perlunya pembaharuan dalam membersihkan nama institusi tersebut dari kasus-kasus kelam yang menjerat keduanya.

Berantas korusi sekarang

Kasus-kasus Korupsi di Indonesia
Mafia dan Korupsi Birokratis

Mafia, korupsi, birokrasi, dan uang sangat dekat kaitannya satu sama lain. Tapi yang menjadi titik sentral adalah uang karena dalam mafia, korupsi, dan birokrasi yang icari adlah uang. Dengan mafia, birokrasi, dan korupsi uang dapat diperoleh dengan mudah. Dan dengan uang pula orang seakan dapat mencapai segalanya.

Keempat unsur pokok tersebut diulas dalam buku ini. Tpai berbeda dengan anggapan naif selama ini bahwa rezim sosialis adalah surganya kaum buruh dan petani, buku ini membentangkan secara terus-terang korupsi yang merupakan momk dan kebobrokan negara sosialis Uni Societ. Dengan membuka kedok mengeani korupsi yang disahkan dan korupsi yang terselubung di Uni Soviet, buku ini juga memperlihatkan runtuhnya legenda tentang sempurnanya Partai komunis Soviet. Selain itu diulas pula korupsi di Zaire terutama dalam kaitan dengan perekonomian antara borjuis setempat dengan borjuis internasional lewat perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di sana. Sungguh menarik. Siapa pun yang membaca buku ini tidak akan kecewa.
noblepest.com photo, big rat imagePresiden Susilo Bambang Yudhoyono bertekad dalam program kerja seratus harinya akan mengutamakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Menurut Presiden, KKN, akan menjadi salah satu masalah berat yang harus diselesaikan oleh Pemerintah yang baru.

Jika dirunut, masih banyak masalah KKN di negara ini yang dalam proses hukumnya berhenti di tengah jalan. Berikut adalah kasus-kasus KKN besar yang menunggu untuk diselesaikan.

SOEHARTO

Kasus Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.



PERTAMINA

Dugaan korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara, adalah US $ 24.8 juta. Para tersangkanya 2 Mantan Menteri Pertambangan dan Energi Orde Baru, Ginandjar Kartasasmita dan Ida Bagus Sudjana, Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, serta Direktur PT UPG Partono H Upoyo.

Kasus Proyek Kilang Minyak Export Oriented (Exxor) I di Balongan, Jawa Barat dengan tersangka seorang pengusaha Erry Putra Oudang. Pembangunan kilang minyak ini menghabiskan biaya sebesar US $ 1.4 M. Kerugian negara disebabkan proyek ini tahun 1995-1996 sebesar 82.6 M, 1996-1997 sebesar 476 M, 1997-1998 sebesar 1.3 Triliun. Kasus kilang Balongan merupakan benchmark-nya praktek KKN di Pertamina. Negara dirugikan hingga US$ 700 dalam kasus mark-up atau penggelembungan nilai dalam pembangunan kilang minyak bernama Exor I tersebut.

Kasus Proyek Pipaisasi Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jawa (Pipianisasi Jawa), melibatkan Mantan Direktur Pertamina Faisal Abda’oe, Bos Bimantara Rosano Barack, dan Siti Hardiyanti Rukmana. Kerugian negara hingga US$ 31,4 juta.

Korupsi di BAPINDO

Tahun 1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara dirugikan sebesar 1.3 Triliun.

HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young

Kasus HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.

Bob Hasan telah divonis enam tahun penjara. Bob dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi proyek pemetaan hutan senilai Rp 2,4 triliun. Direktur Utama PT Mapindo Pratama itu juga diharuskan membayar ganti rugi US$ 243 juta kepada negara dan denda Rp 15 juta. Kini Bob dikerangkeng di LP Nusakambangan, Jawa Tengah.

Prajogo Pangestu diseret sebagai tersangka kasus korupsi dana reboisasi proyek hutan tanaman industri (HTI) PT Musi Hutan Persada, yang diduga merugikan negara Rp 331 miliar. Dalam pemeriksaan, Prajogo, yang dikenal dekat dengan bekas presiden Soeharto, membantah keras tuduhan korupsi. Sampai sekarang nasib kasus taipan kakap ini tak jelas kelanjutannya.

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4 triliun.

Bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dianggap bertanggung jawab dalam pengucuran BLBI. Sebelumnya, mantan pejabat BI lainnya yang terlibat pengucuran BLBI?Hendrobudiyanto, Paul Sutopo, dan Heru Soepraptomo?telah dijatuhi hukuman masing-masing tiga, dua setengah, dan tiga tahun penjara, yang dianggap terlalu ringan oleh para pengamat. Ketiganya kini sedang naik banding.
Bersama tiga petinggi BI itu, pemilik-komisaris dari 48 bank yang terlibat BLBI, hanya beberapa yang telah diproses secara hukum. Antara lain: Hendrawan Haryono (Bank Aspac), David Nusa Widjaja (Bank Servitia), Hendra Rahardja (Bank Harapan Santosa), Sjamsul Nursalim (BDNI), dan Samadikun Hartono (Bank Modern).

Yang jelas, hingga akhir 2002, dari 52 kasus BLBI, baru 20 dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Sedangkan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan hanya enam kasus

Abdullah Puteh

Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.

Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan ditayangkan di televisi dan media massa dengan frekuensi seminggu sekali.

Mereka adalah:

1. Sudjiono Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)
2. Eko Edi Putranto - Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS)
3. Samadikun Hartono - Presdir Bank Modern
4. Lesmana Basuki - Kasus BLBI
5. Sherny Kojongian - Direksi BHS
6. Hendro Bambang Sumantri - Kasus BLBI
7. Eddy Djunaedi - Kasus BLBI
8. Ede Utoyo - Kasus BLBI
9. Toni Suherman - Kasus BLBI
10. Bambang Sutrisno - Wadirut Bank Surya
11. Andrian Kiki Ariawan - Direksi Bank Surya
12. Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani - Kasus BLBI
13. Nader Taher - Dirut PT Siak Zamrud Pusako
14. Dharmono K Lawi - Kasus BLBI


Mafia Peradilan Hambat Pemberantasan Korupsi

Jakarta:Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiqrahman Ruki menilai mekanisme peradilan justru menjadi bagian dari masalah yang menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Ruki menjelaskan, dirinya sangat menjunjung upaya pemberantasan korupsi harus melalui upaya penegakan hukum. Namun masalahnya, menurut dia, korupsi justru juga dilakukan oleh aparat hukum. "Sudah jadi rahasia umum, mafia peradilan sudah banyak terjadi pada penyidik, pengadilan, hingga advokat. Ini jelas menjadi dilema," ujarnya dalam acara buka puasa di kantor KPK, Jumat lalu.

Kondisi seperti itu, menurut Ruki, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan luar negeri. Kendati masih ada korupsi, kata dia, hukum negara lain lebih efektif untuk menindak pelaku korupsi. Apalagi, Ruki mengatakan, penegak hukum di luar negeri relatif bersih. "Sehingga sama sekali tidak memberi peluang terjadinya korupsi," ujarnya.


Korupsi dan Mafia

Oleh: Hendardi (Ketua Badan Pengurus SETARA Institute)Korupsi dan kekuasaan mafia ibarat dua sisi mata uang yang sama di Indonesia. Kesempatan korupsi diikuti dengan kesempatan beroperasinya kelompok mafia. Di mana ada korupsi, di situ juga ada mafia. Semakin banyak kasus korupsi, semakin banyak juga mafia yang beroperasi.Korupsi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara Republik Indonesia, terutama sejak Orde Baru. Sumber kekayaan negara telah menjadi rebutan kepentingan kelompok politik, bisnis, dan birokrasi. Pada dasawarsa 1980-an, mekar kelompok bisnis yang tak kompetitif dan berkerumun di seputar Soeharto dan keluarganya.Karakter pemerintahan yang sentralistis itu berakhir seiring tumbangnya rezim Soeharto. Tapi, kini, setelah 11 tahun reformasi, sumber kekayaan negara meluas menjadi rebutan dalam pelaksanaan 'desentralisasi korupsi' yang telah menyebar sampai jauh ke tingkat unit negara.Tak heran jika sejumlah anggota DPR dan DPRD atau gubernur dan bupati atau wali kota disangkut-pautkan dengan berbagai proyek. Mereka pun diseret ke muka pengadilan agar mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi, dugaan semua itu masih sebagian kecil.Pemerintah yang didukung berbagai lembaga donor telah menyosialisasikan atau kampanye program 'pemerintahan yang baik' ( good governance ) dengan prinsip partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi.

Kritik dan saran